Saat Jalan itu Kulalui Sendiri

Thursday, October 4, 2007

KAWAN ini jalan yang saban hari kita lalui bersama, tak ada yang aneh dari kelaziman itu. Cuma ada yang berubah, jalan itu kini kulalui sendiri.
Seribu sembilan ratus sembilan puluh delapan. Arak-arakan aksi mahasiswa itu bak gerbong kereta api panjangnya. Teriakan-teriakan mereka memecah langit biru dan siang yang menganugerahkan terik mentarinya. Pamflet, poster dan ribuan selebaran lainnya, tumpek blek di jalanan menyatakan kebencian. Warnanya kuning, merah, hijau dan adapula yang putih.

Kita harus memaksa penguasa tiran itu turun dari singgasana yang sekian lama membuncitkan perutnya," teriak seorang mahasiswi yang menggantung megaphone di bahu kirinya yang mungil.

Ya. Kita sudah tak punya tawaran lain lagi," sahut seorang kawan mahasiswanya yang memegang dan membagikan selebaran ke para pengemudi mobil yang mereka papasi.

Amarah menggunung, menyumpal aliran angin yang semestinya bisa memutar kitiran petani di sawah yang masih dijaganya meski sebagiannya tak lagi bernas. Kebencian kini menjadi samudera, luas tak bertepi. Di istana sang tiran dengan sesekali memegang perutnya yang buncit itu, menatap kosong ke kejauhan. Dia mungkin berfikir hari akhirnya tiba sudah. Para pembantunya, dengan lidah terjulur keluar tetap yakin jika rakyat negeri masih mendukung sang tiran.

"Arak-arakan itu adalah kehendak kotor dan licik dari sebagian orang agar tuan turun dari singgasana," kata salah seorang pembantunya yang tampaknya paling dekat dengan sang tiran.

"Jangan akali aku," sela sang tiran, menatap tajam pada pembantunya yang memakai jas dan dasi berwarna kuning itu.

"Mana berani kami mengakali tuan yang menguasai orang-orang yang bersenjata itu," tukas salah seorang pembantunya yang lain.

Amarah telah membuat langit jadi merah dan malam pekat yang dingin menjadi garing. Burung-burung senja takut kembali ke sarangnya. Angkara di negeri seribu pulau itu, membuat badai sudah tak bersahabat lagi dengan nelayan. Banyak sampan yang pecah dan karam di hantam badai. Banyak janda dan anak yatim yang duduk di pantai menanti suami dan bapaknya pulang membawa ikan tangkapan seikat dua. Angin telah membadai, aliran sungai telah membanjir, suara seruling anak gembala di punggung kerbau menjadi lengkingan yang memecahkan gendang telinga. Suara cekikikan anak perawan yang mandi dan mencuci di air terjun kampung sudah menjadi cekikikan mengerikan raksasa betina yang diamuk birahi.

Sementara di istana anggur dan roti bertaburan di lantai. Rupanya baru saja terjadi selisih paham yang membuat murka sang tiran.

"Dulu kalian yang memaksa saya untuk kembali duduk di singgasana ini. Sekarang kalian pula yang memaksa untuk segera turun dari singgasana ini," kata sang tiran itu setengah berteriak.

"Pengawal penggal mereka. Biarkan kepala mereka jadi santapan serigala," teriak sang tiran kepada para pengawal setianya. Maka jatuh menggelindinglah kepala para pembantunya tadi. Tapi kemudian kepala-kepala tadi terbang melesat ke arah arak-arakan mahasiswa.

Mulut mereka yang berlepotan darah berteriak, "hanya satu kata: reformasi." Lalu seperti tersihir mahasiswa-mahasiswa itu berteriak, "hidup pahlawan reformasi, hidup lokomotif reformasi."

Kepala-kepala dengan mulut berlumuran darah tadi pun melesat terbang berbarengan di antara arak-arakan para mahasiswa dan berteriak memberi semangat.

Sekarang anjing-anjing sang penguasa tiran itu telah menjadi pahlawan, di tengah para mahasiswa tadi. Mereka kemudian dicarikan tubuh dari mayat perampok yang diinapkan di kamar mayat di rumah sakit terbesar di kota itu.

Dandanan mereka kembali parlente. Jas dan dasi kuning yang mereka pakai tadi, kini telah berganti dengan jas merah dengan dasi merah pula.

Mereka kini berdiri di depan barisan para mahasiswa yang murka lantaran negerinya diperah sang tiran. Sampai kemudian di gedung rakyat, sang tiran tadi mesti bertekuk lutut. Menyerahkan singgasananya.

Usai sudah dendam kesumat. Burung kembali berkicau, badai kembali menjadi hembusan angin sepoi-sepoi basah, suara cekikikan perawan di air terjun kampung itu kini kembali terdengar merdu membangkitkan birahi.

Dipujalah anjing-anjing penguasa yang telah berganti baju tadi. Ribuan undangan setiap hari datang ke rumah mereka. Mulai dari undangan resepsi pernikahan hingga diskusi-diskusi tentang rakyat di hotel berbintang. Mereka selalu dipuja-puji. Tak ada lagi yang hebat selain mereka. Suara mereka seperti suara tuhan. Tak ada lagi vox populi vox dei. Kemana-mana mereka disambut bak pahlawan yang menang perang. Mereka lupa daratan. Sementara mahasiswa pun lupa jika perjuangan belumlah usai.

Seribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan. Langit negeri beraneka warna. Kuning, merah, hijau, biru, putih, ungu dan bahkan abu-abu. Orang-orang pun mengusung bendera-bendera beraneka warna tadi. Mereka berteriak jika bendera mereka yang paling bagus untuk dipilih. Yang lainnya pun tak kalah garang berteriak, "pilih bendera kami. Dijamin rakyat makmur, Negeri kita menjadi negeri gemah ripah loh jinawi." Teriakan serupa pun terdengar di mana-mana dengan bendera yang beraneka.

Di tanah lapang, rakyat berdesak-desakan masuk ke bilik yang menyimpan aneka bendera itu. Mereka berharap hidup mereka berubah jika memilih bendera berwarna kuning, hijau, biru atau merah itu. Anak-anak, tua jompo, pemuda dan gadis-gadis cantik, istri-istri yang sedang mengandung, suami-suami yang berlamur lumpur sawah berebut memilih bendera yang mereka sukai.
"Insya Allah, hidup ini berubah makmur," sebut salah seorang pemuda dan gadis yang bergandeng tangan di pojok bilik hampir berbarengan.

Waktu hidup hampir usai, pemuda dan gadis yang bergandeng tangan di pojok bilik beberapa waktu silam itu, masih juga tak mampu merubah nasib hidupnya. Hidup makmur dan negeri yang gemah ripah loh jinawi yang mereka hendaki tak kunjung datang. Sementara sang pemuda mesti cepat-cepat menikahi gadis yang kini hamil tua itu.

"Hidup ini terlalu kejam untuk kami berdua, ya Tuhan," do'a sang pemuda tadi ketika malam mengtahajudkan hatinya.

Dua ribu. Penanda millenium baru. Arak-arakan mahasiswa di jalanan kembali marak. Teriakannya pun hampir sama dengan teriakan mahasiswa dua tahun lalu. "Sang raja itu mesti turun. Dia pengkhianat reformasi," teriak eorang mahasiswa yang oleh kawan-kawannya didaulat sebagai komandan lapangan aksi massa yang cuma berjumlah puluhan orang. Tapi anehnya setiap harinya, mereka tak jenuh menyebar pamflet, poster dan ribuan selebaran lainnya. Aku yang menjadi penyaksinya menjadi terharu. Gigih betul mahasiswa-mahasiswa itu menghendaki perubahan negeri.

Sampai kemudian pada dua ribu satu, aku menemukan secari kertas bertulis: Kawan ini jalan yang saban hari kita lalui bersama, tak ada yang aneh dari kelaziman itu. Cuma ada yang berubah, jalan itu kini kulalui sendiri. Tulisan tangan itu mungkin milik seorang aktivis mahasiswa yang ditinggalkan kawan-kawan seperjuangannya. Sementara di jalanan arak-arakan mahasiswa kembali menggerbong. Maki-makian untuk sang penguasa baru kembali memecah langit negeri. Angin kembali membadai, merobek layar sampan nelayan. Ombak lau membadai memecah lambung kapal-kapal kecil yang saban waktu lewat di atasnya. Negeri ini kian riuh saja.

Pejompongan, Jakarta Selatan, akhir pekan, 7 April 2001

KABUT pagi menyapaku dengan dinginnnya. Membelai wajah dan sekujur tubuhku. Aku tak tahu, kenapa begitu suka mencandai pagi dengan bertelanjang. Benar-benar telanjang. Dan dangau di dekat sawah nan menghijau itu, selalu jadi tempat singgahku setelah jenuh mencandai pagi.
Ku rasakan benar pagi menikam-nikam dada dan pusarku. “uhh, segarnya,” aku berguman seorang diri. Dan memang gumanan itu untuk aku sendiri, tak ada yang bisa mendengarnya. Meski orang-orang sekampung ramai-ramai berlalu-lalang menuju sungai kecil yang mengaliri kampung itu. Apalagi memang buat mereka, aku telah mati. Benar-mati. Mereka tahu belaka, di nisan kubur di ujung kampung ini ada namaku tertera. Di atas pusaraku mereka tanami pohon jarak. Aku juga tak tahu kenapa, tapi itulah kebiasaan di kampung ini.


Tapi aku tak perduli, yang aku tahu, aku menikmati pagi ini. Menikmati suara cekikikan para perawan yang mandi di sungai kecil tadi. Menikmati gemericik aliran air yang memutar kincir yang membawanya mengairi sawah-sawah tadi.

“Selamat pagi, Kak.” Suara lembut menyapa aku, mengejutkan.

Aku berguman, “adakah dia juga telah mati seperti aku atau dia adalah malaikat yang diutus tuhan menghukumku? Entah.”

Aku sendiri tak yakin, sebab ku lihat orang-orang sekampung juga menyapanya.Tua muda, perempuan atau lelaki. Bisa jadi untuk anak-anak muda sepantaranku, itu lantaran gadis tadi memang begitu cantik. Rambutnya panjang sepinggang. Matanya bersih menikam hati.

“Kak, kenapa melamun.” Aku tersentak, ini benar-benar mengejutkan. Aku tak menyangka bisa disapa perempuan muda secantik dirinya.

“Tidak, kok. Aku hanya terkejut saja kau mau menyapaku,” kataku sedikit gagap.

Dan setelah itu mengalirlah kata demi kata dari bibir penuh perempuan muda itu. Aku tak kuasa menghentikannya. Dangau berlantai bambu yang dijalin dengan rotan ini, terasa demikian sejuk untuk diduduki. Sesekali sekawanan burung pipit melaju di atas pesawahan.

“Uh, damai rupanya mulai menyungkupi kampung yang baru saja porak-poranda ditelan amuk ini,” kataku pada perempuan muda itu.

“Ya, damai,” sambungnya, pelan. Namun wajahnya bersinar-sinar mengucapkan kata yang dulunya tabu itu.

Sambil menunjuk para reruntuhan rumah yang belum sempat dibenahi oleh pemiliknya, ia berkata, “aku memilih membantu salah satu organisasi nonpemerintah yang bekerja memulihkan trauma orang ramai yang baru saja lepas dari ketakutan-ketakutan akan dentum senjata dan bom-bom ini.”

Aku tersentak. “Bukankah dulu aku yang mengakibatkan rumah-rumah mereka terbakar, perempuan-perempuan kehilangan suami dan anak-anak itu menjadi yatim. Oh, betapa nistanya aku,” kataku langsung padanya.

Berubah air mukanya ketika aku mengakui bahwa akulah menjadi penyebab semuanya. Namun kemudian ia mampu menguasai diri. Bak seorang tua yang bijak, ia bilang padaku, “pertikaian itu tidak akan membawa kebahagiaan apa-apa. Kita mungkin bisa membunuh si pembenci, tapi tak pernah bisa membunuh rasa benci.”

Aku ingat kata-kata itu pernah diucapkan oleh Martin Luther King, Jr. Aku pernah menuliskannya di salah satu buku harianku. Bahkan di salah satu pagar tembok sekolah yang kerap kami panjat jika ingin mangkir belajar.

***

PANAS mulai membakar kampung itu. Perempuan muda tadi belum juga berhenti bicara. Sejujurnya aku tak bisa jenuh mendengarkanya berbicara di hadapanku. Siapa yang tak bersenang hati menjadi lawan bicara perempuan muda sepertinya. Cuma aku malu, karena aku telanjang. Benar-benar telanjang. Sementara perempuan muda itu, tubuhnya berbalut kain batik panjang. Di telinganya tersisip kembang liar. Ada giwang berbentuk hati tersemat di kedua anak telinganya. Namun ia tak jengah mengajakku berbicara. Bahkan sesekali ia memukul paha telanjangku. Atau mencubit pangkal lenganku, galibnya perempuan-perempuan muda berbicara dengan lawan jenisnya. Aku kian jengah.

“Bersama yang lain aku membantu perempuan dan anak-anak belajar melupakan duka lara mereka. Pertikaian bertahun-tahun ini memang telah membuat orang ramai saling melupakan. Aku sedih melihatnya. Ingin aku memaki-maki mereka yang telah mengobarkan api pertikaian ini. Tapi aku hanya seorang perempuan,” ucapnya lirih.

Aku kian merasa bersalah. Padahal dulu aku bangga menenteng senjata rakitan yang aku pelajari cara membuatnya dari seorang tentara yang tinggal di dekat rumahku. Ia pula yang mengajarkan aku bagaimana mengintai musuh dan berperang di malam hari. Katanya ia dulu seorang gerilyawan yang dilatih tentara Kujang Siliwangi untuk melawan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DII/TII) dan Pemerintah Republik Rakyat Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta). Ia mengaku kecewa ketika usai pemberontakan-pemberontakan itu mereka dicampakan oleh para pejabat Tentara Nasional Indonesia (TNI). Aku percaya apa katanya. Sebab di rumahnya aku melihat ia bergambar dengan sejumlah teman-temannya yang berbaju loreng dan menenteng senjata.

“Ya, aku tahu itu,” kataku pendek, setelah beberapa jenak aku terdiam.

Tiba-tiba ia berkata dengan suara keras, mengejutkan aku. “Semua orang pun tahu itu. Namun mereka justru menyebarkan permusuhan, mengobarkan pertikaian. Hasilnya, arang, abu dan jasad-jasad tak bernyawa yang dibawa hanyut sungai. Bahkan ada yang tak sempat diurusi keluarganya.” Matanya mulai berkaca-kaca.

Aku lalu hanya bisa meminta maaf, sebab telah melukainya. Ia pun memahaminya.

“Aku paham. Tapi untuk menyelesaikan akibat itu semua, maaf saja tak cukup. Kita harus berbuat. Meski kita tahu, kita akan melalui masa-masa sulit sampai semua orang mampu memahami bahwa hidup yang damai itu lebih baik untuk untuk mereka,” katanya, mengajari aku.

***

MATAHARI kian tak bersahabat. Aku pikir ini hampir setengah dua belas siang. Terbakar rasanya kulitku yang telanjang ini. Benar-benar telanjang. Sementara ia tak jengah juga melihat ketelanjanganku. Apakah ia memang perempuan muda atau malaikat yng diutus menghukumku? Entah. Aku juga tak mau tahu. Sebab rasanya aku senang bisa bertemu perempuan muda yang cantik jelita itu.

Tiba-tiba di jalanan orang ramai berteriak, “hoi, para perusuh memasuki kampung. Cepat menyelamatkan diri.” Dari jauh terdengar gelegar senjata dan dentuman bom. Jalanan lebih ramai dari biasanya. Lalu lalang orang membuatku memperhatikan ke mana gerangan perempuan muda yang bersamaku tadi. Aku mencarinya di semak-semak, di kolong dangau, siapa tahu lantaran takut ia lalu lari bersembunyi. Namun ia tak ada. Ku sapu semak-semak dan bukit-bukit tanah di depanku, ku jelajahi saluran-saluran di antara petak-petak sawah, tak juga tampak batang hidungnya. Sementara kampung mulai menyala. Api berkobar di mana-mana. Lenguhan kerbau, juga cicit ayam menambah riuh. Aku pun turut lari. Masih dengan ketelanjanganku. Benar-benar telanjang.

“Oh, ada pula yang aku lupakan. Aku tak tahu siapa nama perempuan muda tadi. Siapa tahu aku bisa bersua dengannya kembali,” gumanku, sambil melayangkan pandangan di antara orang ramai. Ia tak juga tampak. Aku menyesal tak memperhatikannya tadi.

“Hoi, ayo lari. Semua rumah telah dibakar perusuh. Masjid, gereja, pura, wihara, klenteng, telah pula dibakar. Ayo lari. Sebab bukan tak mungkin giliran kita sesudahnya.” Tak tahu lagi aku, siapa yang berteriak-teriak itu.

Aku pun terus berlari, mengikuti arah orang ramai itu. Sebab sejatinya aku tak tahu kampung itu. Pagi tadi aku datang dan begitu saja berjalan-jalan. Pagi tadi aku serasa memang penduduk di kampung ini, namun siang ini aku benar-benar tak yakin. Bahkan apakah aku memang benar-benar bertemu dengan perempuan muda tadi, yakinpun aku tidak. “Aneh,” kataku, mengatasi suara riuh rendah di sekelilingku.


Cuma aku ingat kalau tadi ada yang mengkhotbahiku tentang perdamaian dan hidup berdampingan, tentang pertikaian ini dan segala macamnya. Itu saja, tak lebih. Untungnya aku pun teringat, siapa diriku. Aku dikuburkan di ujung kampung itu. Aku mati ketika sebutir peluru meluncur dari moncong sebuah senjata rakitan. Matinya aku membuat geger atau bisa jadi sadar orang ramai sekampung. Sebab selama ini, akulah yang membakar-bakar hati mereka untuk mengangkat senjata melawan orang-orang yang kusebut perusuh. Sementara aku tak yakin lagi sekarang, apakah mereka benar-benar perusuh atau akulah perusuh itu.

Poso-Morowali-Palu, Juni 2003

Dialog Hantu di Kota Mati

RATUSAN bangkai hanyut dibawa aliran sungai bersejarah itu. Kepak sayap ratusan gagak hitam terdengar lebih keras dari pada biasanya. Awan hitam menggantung di langit. Kota mati, tak ada lagi tangis perempuan-perempuan muda yang kehilangan suami, tak ada ada lagi riuh tangis anak-anak yang kehilangan bapaknya. Mereka mengungsi memburu rasa aman yang meninggalkan mereka. Yang ada tinggal bunyi dan gaung derap sepatu lars tentara dan polisi berselempang senapan yang hilir mudik di kota. Kota sudah mati. Orang-orang sudah jadi hantu.
Mereka saling menyapa. Saling berjabatan tangan. Tapi di tempat lain ada hantu yang saling berperang. Mereka memperebutkan kebenaran yang terbungkus di kain lusuh berwarna merah dan putih. Dengan peluru dan bom-bom mereka berteriak jika kebenaran adalah mereka dan mereka adalah kebenaran itu. “Kebenaran itu berwarna putih,” teriak seorang laki-laki paruhbaya yang memanggul pedang panjang dan tombak bermata tiga.

“Kebenaran itu berwarna merah,” sahut laki-laki lainnya, tak kalah garang sambil mengelus-ngelus senapan berlaras dua yang diujungnya diikat kain merah. Kepak sayap gagak semakin menggemuruh. Seakan menyatakan bahwa kebenaran itu adalah kematian. Atau mungkin kebenaran itu sebenarnya telah mati ketika senapan di tangan-tangan para lelaki-lekai tadi menyalak dan menghamburkan bau busuk mesiu.

“Kebenaran itu sesuatu yang absurd. Kebenaran itu sebenarnya tidak ada. Kebenaran itu tergantung siapa yang mengatakannya,” tutur seorang hantu perempuan berwajah cantik yang muncul tiba-tiba di tengah-tengah amarah para lelaki itu.

“Ah, itu kan kata Anda. Kebenaran itu kan barang yang ada di kain putih tadi. Itu yang aku cari sejak tadi,” sahut hantu perempuan lainnya lebih keras mengalahkan suara bom yang meledak saat kata pertama lepas dari jeratan lisannya tadi.

“Anda kan memakai kacamata berwarna putih itu. Mestinya Anda memakai berlapis-lapis kacamata untuk melihat kebenaran. Entah itu kacamata hitam, merah, kuning atau abu-abu,” sanggah seorang hantu orang tua berkacamata yang rupanya seperti guru SD di desaku yang sudah musnah terbakar.

Aku sudah tentu mesti berdiam diri. Meski aku juga sudah menjadi hantu. Aku agak segan menimpali kata-kata hantu orang tua itu. Aku pernah jadi muridnya. Aku masih ingat ketika dengan bersemangatnya dia menceritakan warna-warni Indonesia.

“Indonesia ini terdiri dari beragam suku bangsa, beragam agama dan kepercayaan, tapi mampu hidup bersama dan saling membagi,” papar dia sambil sesekali memegang kacamatanya yang hampir jatuh dari punggung hidungnya yang sukar disebut mancung itu. Tapi kemudian lamunanku buyar, setelah salakan senapan kembali bersahutan diiringi teriakan.

“Rebut kebenaran di kain putih itu, rebut kebenaran di kain merah itu.” Rintihan memilukan kembali terdengar. Ada yang merintih lantaran tangan dan kakinya hancur jadi abu terkena bom. Ada yang langsung rubuh mencium bumi. Mereka yang langsung dipanggil ke haribaan tuhan itu, langsung menjadi hantu. Hantu-hantu bertambah lagi. Ada yang berwarnah merah, ada yang berwarna putih, ada yang berwarna hitam, bahkan ada yang berwarna abu-abu. Ada yang berkacamata kuda, ada yang berkamata dengan beberapa lapis kaca warna-warni, ada yang sama sekali tak berkacamata. Ada yang ketika jadi hantu pun masih memanggul senapan. Ada yang memegang tasbih, ada yang memegang rosario. Hantu-hantu itu terbang berseliweran. Bertabrakan. Bahkan ada yang dengan sengaja menabrakku. Mungkin lantaran aku hantu yang berwarna abu-abu. Rupanya mereka geram melihatku. Mereka ingin aku berwarna merah atau putih, seperti kebanyakan dari mereka. Itu yang selalu mereka sebut ketika aku memaki jika ada yang nyaris menabrakku.
“Kamu meyakini kebenaran yang mana,” tanya mereka. Aku cuma bilang aku wartawan.

“Aku tak boleh memihak. Aku mesti netral,” teriakku tak kalah keras dari bunyi bom yang baru saja meledak.

“Tapi korban terus berjatuhan. Sungai itu sudah penuh darah para syuhada,” teriak seorang hantu laki-laki muda dengan garang.

“Begitu pun para martir itu. Darah mereka sudah tumpah berliter-liter,” teriak seorang laki-laki muda lainnya.

“Anda harus memihak,” teriak yang lainnya lagi. Aku akhirnya berlari ke toko milik Babah Hong yang nyaris terbakar habis di dekat terminal bekas kota elok itu. Aku mencari dua buah kaleng cat berwarna putih dan merah. Aku ambil kuas dan mengecat diriku. Sebelah kanan putih, sebelah kiri merah. Lalu kakiku kucat abu-abu, tanganku kucat hitam. Lalu kudatangi lagi mereka yang terus mendesakku untuk memihak.

“Ini aku warna-warni Indonesia. Seperti ajaran hantu bekas guruku itu,” kataku.

“Anda banci. Lebih baik anda memakai rok dan bergincu. Lalu berdiri di kolong jembatan sana menunggu para jejaka yang mungkin tertarik pada gincu tebalmu,” teriak mereka hampir bersama. Mereka rupanya begitu marah melihatku. Mereka pun menghujamkan tombaknya ke tubuhku. Menembakku. Membomku. Memanahku. Mencabik-cabikku dengan pedangnya. Mengencingiku. Merampas buku catatanku, kartu persku, ballpointku, kartu ATM ku, SIM ku, dan menjambak-jambak rambutku yang kubiarkan gondrong. Tubuhku seperti kain perca yang diguntiing-gunting dan dijadikan mainan oleh anak-anak taman kanak-kanak. Dari luka-luka yang menganga itu keluar darah berwarna putih, merah, hitam dan abu-abu. Tapi orang-orang itu tak perduli. Mereka masih saja menghujamkan tikaman belati dan mengayunkan pedangnya. Tanganku nyaris tanggal, leherku nyaris putus, kakiku nyaris putus. Dengan susah payah aku kemudian berlari ke kantor Polisi terdekat. Sambil berteriak, jika aku wartawan.

“Seperti juga kalian, pekerjaanku dilindungi undang-undang. Aku meminta perlindungan,” teriakku sambil menahan perih dari luka-lukaku yang menganga. Tapi aku terkejut ketika para Polisi itu juga bertanya, “kau memihak siapa. Mengapa kau mengecat tubuhmu dengan warnah-warna itu.”

“Kau harus memihak,” teriak mereka lagi, seraya menodongkan senapan SS-1 dan M-16 padaku. Mereka kemudian memuntahkan timah-timah panas yang sedari tadi bersembunyi di laras senapannya. aku terjungkal. Tubuhku berlubang-lubang. Darah warna-warni kembali muncrat dari lubang-lubang tubuhku. Aku berlari, tapi mereka masih tetap mengejarku.

Sambil tetap berteriak memaksaku untuk memihak putih atau merah. Aku betul-betul ketakutan. Baru kali ini aku dikejar-kejar para Polisi bersenjata itu. Nafasku tinggal satu-satu. Sampai kemudian aku sampai di markas tentara dan melaporkan kejadian itu. Tapi kali ini aku mesti terkejut lagi. Mereka pun menanyakan, kepada siapa aku memihak. Ku tahu mereka bertanya lantaran melihat tubuhku yang tercabik-cabik ini penuh warna-warni. Warna-warni Indonesia. Aku pun mengambil kesimpulan, ada bahaya lagi mengancamku di sini. Apalagi aku melihat laras senapan mereka, ada yang diikat kain putih dan kain merah. Benar saja, belum usai lamunanku, kembali senapan yang sejak tadi mereka todongkan padaku menyalak. Lubang di tubuhku bertambah. Darah seperti tak henti-hentinya mengalir. Masih tetap berwarna putih, merah, hitam dan abu-abu. Aku pun kembali mengambil langkah seribu. Ku terjang saja ferboden di hadapaku. Ku ambil salah satu jip mereka, kukendarai selaju mungkin agar aku lepas dari kejaran tentara-tentara garang itu. Sampai kemudian jip yang kubawa itu terjungkal masuk kejuran, membawa tubuhku yang tercabik-cabik ini. Aku pun tersadar ketika sang malakul maut menghadang langkahku ketika akan keluar dari rongsokan itu.

“Aku akan mencabut nyawamu untuk kedua kalinya,” kata dia garang.

“Aku kan sudah bilang ketika kau menjadi hantu kau harus memihak,” imbuh dia lagi. Aku tak bisa mengelak kali ini. Waktu ketiga buatku untuk menjadi hantu mungkin akan memihak. Aku tak ingin lagi tercabik-cabik oleh timah panas tak bermata itu.

“Aku harus berpihak,” teriakku pada sang malakul maut yang meninggalkanku, seperti berjanji. Di kejauhan kaok ratusan gagak hitam, sayup terdengar, seperti mengamini pilihanku. Dan bau amis darah kian menyegat hidungku. Kita mungking memang tak punya pilihan lain, selain memihak. Itu kalau kita tak ingin disebut banci dan pengecut. Sebab ternyata kebenaran kini sudah terpahat di moncong-moncong senapan. Hingga Kita sudah tak punya hak lagi seperti tokek di puing-puing rumah yang habis terbakar itu. Putih atau merah, putih atau merah, putih atau merah, merah putih, putih merah.

Poso, Kota Hantu Februari 2001.