Dialog Hantu di Kota Mati

Thursday, October 4, 2007

RATUSAN bangkai hanyut dibawa aliran sungai bersejarah itu. Kepak sayap ratusan gagak hitam terdengar lebih keras dari pada biasanya. Awan hitam menggantung di langit. Kota mati, tak ada lagi tangis perempuan-perempuan muda yang kehilangan suami, tak ada ada lagi riuh tangis anak-anak yang kehilangan bapaknya. Mereka mengungsi memburu rasa aman yang meninggalkan mereka. Yang ada tinggal bunyi dan gaung derap sepatu lars tentara dan polisi berselempang senapan yang hilir mudik di kota. Kota sudah mati. Orang-orang sudah jadi hantu.
Mereka saling menyapa. Saling berjabatan tangan. Tapi di tempat lain ada hantu yang saling berperang. Mereka memperebutkan kebenaran yang terbungkus di kain lusuh berwarna merah dan putih. Dengan peluru dan bom-bom mereka berteriak jika kebenaran adalah mereka dan mereka adalah kebenaran itu. “Kebenaran itu berwarna putih,” teriak seorang laki-laki paruhbaya yang memanggul pedang panjang dan tombak bermata tiga.

“Kebenaran itu berwarna merah,” sahut laki-laki lainnya, tak kalah garang sambil mengelus-ngelus senapan berlaras dua yang diujungnya diikat kain merah. Kepak sayap gagak semakin menggemuruh. Seakan menyatakan bahwa kebenaran itu adalah kematian. Atau mungkin kebenaran itu sebenarnya telah mati ketika senapan di tangan-tangan para lelaki-lekai tadi menyalak dan menghamburkan bau busuk mesiu.

“Kebenaran itu sesuatu yang absurd. Kebenaran itu sebenarnya tidak ada. Kebenaran itu tergantung siapa yang mengatakannya,” tutur seorang hantu perempuan berwajah cantik yang muncul tiba-tiba di tengah-tengah amarah para lelaki itu.

“Ah, itu kan kata Anda. Kebenaran itu kan barang yang ada di kain putih tadi. Itu yang aku cari sejak tadi,” sahut hantu perempuan lainnya lebih keras mengalahkan suara bom yang meledak saat kata pertama lepas dari jeratan lisannya tadi.

“Anda kan memakai kacamata berwarna putih itu. Mestinya Anda memakai berlapis-lapis kacamata untuk melihat kebenaran. Entah itu kacamata hitam, merah, kuning atau abu-abu,” sanggah seorang hantu orang tua berkacamata yang rupanya seperti guru SD di desaku yang sudah musnah terbakar.

Aku sudah tentu mesti berdiam diri. Meski aku juga sudah menjadi hantu. Aku agak segan menimpali kata-kata hantu orang tua itu. Aku pernah jadi muridnya. Aku masih ingat ketika dengan bersemangatnya dia menceritakan warna-warni Indonesia.

“Indonesia ini terdiri dari beragam suku bangsa, beragam agama dan kepercayaan, tapi mampu hidup bersama dan saling membagi,” papar dia sambil sesekali memegang kacamatanya yang hampir jatuh dari punggung hidungnya yang sukar disebut mancung itu. Tapi kemudian lamunanku buyar, setelah salakan senapan kembali bersahutan diiringi teriakan.

“Rebut kebenaran di kain putih itu, rebut kebenaran di kain merah itu.” Rintihan memilukan kembali terdengar. Ada yang merintih lantaran tangan dan kakinya hancur jadi abu terkena bom. Ada yang langsung rubuh mencium bumi. Mereka yang langsung dipanggil ke haribaan tuhan itu, langsung menjadi hantu. Hantu-hantu bertambah lagi. Ada yang berwarnah merah, ada yang berwarna putih, ada yang berwarna hitam, bahkan ada yang berwarna abu-abu. Ada yang berkacamata kuda, ada yang berkamata dengan beberapa lapis kaca warna-warni, ada yang sama sekali tak berkacamata. Ada yang ketika jadi hantu pun masih memanggul senapan. Ada yang memegang tasbih, ada yang memegang rosario. Hantu-hantu itu terbang berseliweran. Bertabrakan. Bahkan ada yang dengan sengaja menabrakku. Mungkin lantaran aku hantu yang berwarna abu-abu. Rupanya mereka geram melihatku. Mereka ingin aku berwarna merah atau putih, seperti kebanyakan dari mereka. Itu yang selalu mereka sebut ketika aku memaki jika ada yang nyaris menabrakku.
“Kamu meyakini kebenaran yang mana,” tanya mereka. Aku cuma bilang aku wartawan.

“Aku tak boleh memihak. Aku mesti netral,” teriakku tak kalah keras dari bunyi bom yang baru saja meledak.

“Tapi korban terus berjatuhan. Sungai itu sudah penuh darah para syuhada,” teriak seorang hantu laki-laki muda dengan garang.

“Begitu pun para martir itu. Darah mereka sudah tumpah berliter-liter,” teriak seorang laki-laki muda lainnya.

“Anda harus memihak,” teriak yang lainnya lagi. Aku akhirnya berlari ke toko milik Babah Hong yang nyaris terbakar habis di dekat terminal bekas kota elok itu. Aku mencari dua buah kaleng cat berwarna putih dan merah. Aku ambil kuas dan mengecat diriku. Sebelah kanan putih, sebelah kiri merah. Lalu kakiku kucat abu-abu, tanganku kucat hitam. Lalu kudatangi lagi mereka yang terus mendesakku untuk memihak.

“Ini aku warna-warni Indonesia. Seperti ajaran hantu bekas guruku itu,” kataku.

“Anda banci. Lebih baik anda memakai rok dan bergincu. Lalu berdiri di kolong jembatan sana menunggu para jejaka yang mungkin tertarik pada gincu tebalmu,” teriak mereka hampir bersama. Mereka rupanya begitu marah melihatku. Mereka pun menghujamkan tombaknya ke tubuhku. Menembakku. Membomku. Memanahku. Mencabik-cabikku dengan pedangnya. Mengencingiku. Merampas buku catatanku, kartu persku, ballpointku, kartu ATM ku, SIM ku, dan menjambak-jambak rambutku yang kubiarkan gondrong. Tubuhku seperti kain perca yang diguntiing-gunting dan dijadikan mainan oleh anak-anak taman kanak-kanak. Dari luka-luka yang menganga itu keluar darah berwarna putih, merah, hitam dan abu-abu. Tapi orang-orang itu tak perduli. Mereka masih saja menghujamkan tikaman belati dan mengayunkan pedangnya. Tanganku nyaris tanggal, leherku nyaris putus, kakiku nyaris putus. Dengan susah payah aku kemudian berlari ke kantor Polisi terdekat. Sambil berteriak, jika aku wartawan.

“Seperti juga kalian, pekerjaanku dilindungi undang-undang. Aku meminta perlindungan,” teriakku sambil menahan perih dari luka-lukaku yang menganga. Tapi aku terkejut ketika para Polisi itu juga bertanya, “kau memihak siapa. Mengapa kau mengecat tubuhmu dengan warnah-warna itu.”

“Kau harus memihak,” teriak mereka lagi, seraya menodongkan senapan SS-1 dan M-16 padaku. Mereka kemudian memuntahkan timah-timah panas yang sedari tadi bersembunyi di laras senapannya. aku terjungkal. Tubuhku berlubang-lubang. Darah warna-warni kembali muncrat dari lubang-lubang tubuhku. Aku berlari, tapi mereka masih tetap mengejarku.

Sambil tetap berteriak memaksaku untuk memihak putih atau merah. Aku betul-betul ketakutan. Baru kali ini aku dikejar-kejar para Polisi bersenjata itu. Nafasku tinggal satu-satu. Sampai kemudian aku sampai di markas tentara dan melaporkan kejadian itu. Tapi kali ini aku mesti terkejut lagi. Mereka pun menanyakan, kepada siapa aku memihak. Ku tahu mereka bertanya lantaran melihat tubuhku yang tercabik-cabik ini penuh warna-warni. Warna-warni Indonesia. Aku pun mengambil kesimpulan, ada bahaya lagi mengancamku di sini. Apalagi aku melihat laras senapan mereka, ada yang diikat kain putih dan kain merah. Benar saja, belum usai lamunanku, kembali senapan yang sejak tadi mereka todongkan padaku menyalak. Lubang di tubuhku bertambah. Darah seperti tak henti-hentinya mengalir. Masih tetap berwarna putih, merah, hitam dan abu-abu. Aku pun kembali mengambil langkah seribu. Ku terjang saja ferboden di hadapaku. Ku ambil salah satu jip mereka, kukendarai selaju mungkin agar aku lepas dari kejaran tentara-tentara garang itu. Sampai kemudian jip yang kubawa itu terjungkal masuk kejuran, membawa tubuhku yang tercabik-cabik ini. Aku pun tersadar ketika sang malakul maut menghadang langkahku ketika akan keluar dari rongsokan itu.

“Aku akan mencabut nyawamu untuk kedua kalinya,” kata dia garang.

“Aku kan sudah bilang ketika kau menjadi hantu kau harus memihak,” imbuh dia lagi. Aku tak bisa mengelak kali ini. Waktu ketiga buatku untuk menjadi hantu mungkin akan memihak. Aku tak ingin lagi tercabik-cabik oleh timah panas tak bermata itu.

“Aku harus berpihak,” teriakku pada sang malakul maut yang meninggalkanku, seperti berjanji. Di kejauhan kaok ratusan gagak hitam, sayup terdengar, seperti mengamini pilihanku. Dan bau amis darah kian menyegat hidungku. Kita mungking memang tak punya pilihan lain, selain memihak. Itu kalau kita tak ingin disebut banci dan pengecut. Sebab ternyata kebenaran kini sudah terpahat di moncong-moncong senapan. Hingga Kita sudah tak punya hak lagi seperti tokek di puing-puing rumah yang habis terbakar itu. Putih atau merah, putih atau merah, putih atau merah, merah putih, putih merah.

Poso, Kota Hantu Februari 2001.

0 comments: