Saat Jalan itu Kulalui Sendiri

Thursday, October 4, 2007

KAWAN ini jalan yang saban hari kita lalui bersama, tak ada yang aneh dari kelaziman itu. Cuma ada yang berubah, jalan itu kini kulalui sendiri.
Seribu sembilan ratus sembilan puluh delapan. Arak-arakan aksi mahasiswa itu bak gerbong kereta api panjangnya. Teriakan-teriakan mereka memecah langit biru dan siang yang menganugerahkan terik mentarinya. Pamflet, poster dan ribuan selebaran lainnya, tumpek blek di jalanan menyatakan kebencian. Warnanya kuning, merah, hijau dan adapula yang putih.

Kita harus memaksa penguasa tiran itu turun dari singgasana yang sekian lama membuncitkan perutnya," teriak seorang mahasiswi yang menggantung megaphone di bahu kirinya yang mungil.

Ya. Kita sudah tak punya tawaran lain lagi," sahut seorang kawan mahasiswanya yang memegang dan membagikan selebaran ke para pengemudi mobil yang mereka papasi.

Amarah menggunung, menyumpal aliran angin yang semestinya bisa memutar kitiran petani di sawah yang masih dijaganya meski sebagiannya tak lagi bernas. Kebencian kini menjadi samudera, luas tak bertepi. Di istana sang tiran dengan sesekali memegang perutnya yang buncit itu, menatap kosong ke kejauhan. Dia mungkin berfikir hari akhirnya tiba sudah. Para pembantunya, dengan lidah terjulur keluar tetap yakin jika rakyat negeri masih mendukung sang tiran.

"Arak-arakan itu adalah kehendak kotor dan licik dari sebagian orang agar tuan turun dari singgasana," kata salah seorang pembantunya yang tampaknya paling dekat dengan sang tiran.

"Jangan akali aku," sela sang tiran, menatap tajam pada pembantunya yang memakai jas dan dasi berwarna kuning itu.

"Mana berani kami mengakali tuan yang menguasai orang-orang yang bersenjata itu," tukas salah seorang pembantunya yang lain.

Amarah telah membuat langit jadi merah dan malam pekat yang dingin menjadi garing. Burung-burung senja takut kembali ke sarangnya. Angkara di negeri seribu pulau itu, membuat badai sudah tak bersahabat lagi dengan nelayan. Banyak sampan yang pecah dan karam di hantam badai. Banyak janda dan anak yatim yang duduk di pantai menanti suami dan bapaknya pulang membawa ikan tangkapan seikat dua. Angin telah membadai, aliran sungai telah membanjir, suara seruling anak gembala di punggung kerbau menjadi lengkingan yang memecahkan gendang telinga. Suara cekikikan anak perawan yang mandi dan mencuci di air terjun kampung sudah menjadi cekikikan mengerikan raksasa betina yang diamuk birahi.

Sementara di istana anggur dan roti bertaburan di lantai. Rupanya baru saja terjadi selisih paham yang membuat murka sang tiran.

"Dulu kalian yang memaksa saya untuk kembali duduk di singgasana ini. Sekarang kalian pula yang memaksa untuk segera turun dari singgasana ini," kata sang tiran itu setengah berteriak.

"Pengawal penggal mereka. Biarkan kepala mereka jadi santapan serigala," teriak sang tiran kepada para pengawal setianya. Maka jatuh menggelindinglah kepala para pembantunya tadi. Tapi kemudian kepala-kepala tadi terbang melesat ke arah arak-arakan mahasiswa.

Mulut mereka yang berlepotan darah berteriak, "hanya satu kata: reformasi." Lalu seperti tersihir mahasiswa-mahasiswa itu berteriak, "hidup pahlawan reformasi, hidup lokomotif reformasi."

Kepala-kepala dengan mulut berlumuran darah tadi pun melesat terbang berbarengan di antara arak-arakan para mahasiswa dan berteriak memberi semangat.

Sekarang anjing-anjing sang penguasa tiran itu telah menjadi pahlawan, di tengah para mahasiswa tadi. Mereka kemudian dicarikan tubuh dari mayat perampok yang diinapkan di kamar mayat di rumah sakit terbesar di kota itu.

Dandanan mereka kembali parlente. Jas dan dasi kuning yang mereka pakai tadi, kini telah berganti dengan jas merah dengan dasi merah pula.

Mereka kini berdiri di depan barisan para mahasiswa yang murka lantaran negerinya diperah sang tiran. Sampai kemudian di gedung rakyat, sang tiran tadi mesti bertekuk lutut. Menyerahkan singgasananya.

Usai sudah dendam kesumat. Burung kembali berkicau, badai kembali menjadi hembusan angin sepoi-sepoi basah, suara cekikikan perawan di air terjun kampung itu kini kembali terdengar merdu membangkitkan birahi.

Dipujalah anjing-anjing penguasa yang telah berganti baju tadi. Ribuan undangan setiap hari datang ke rumah mereka. Mulai dari undangan resepsi pernikahan hingga diskusi-diskusi tentang rakyat di hotel berbintang. Mereka selalu dipuja-puji. Tak ada lagi yang hebat selain mereka. Suara mereka seperti suara tuhan. Tak ada lagi vox populi vox dei. Kemana-mana mereka disambut bak pahlawan yang menang perang. Mereka lupa daratan. Sementara mahasiswa pun lupa jika perjuangan belumlah usai.

Seribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan. Langit negeri beraneka warna. Kuning, merah, hijau, biru, putih, ungu dan bahkan abu-abu. Orang-orang pun mengusung bendera-bendera beraneka warna tadi. Mereka berteriak jika bendera mereka yang paling bagus untuk dipilih. Yang lainnya pun tak kalah garang berteriak, "pilih bendera kami. Dijamin rakyat makmur, Negeri kita menjadi negeri gemah ripah loh jinawi." Teriakan serupa pun terdengar di mana-mana dengan bendera yang beraneka.

Di tanah lapang, rakyat berdesak-desakan masuk ke bilik yang menyimpan aneka bendera itu. Mereka berharap hidup mereka berubah jika memilih bendera berwarna kuning, hijau, biru atau merah itu. Anak-anak, tua jompo, pemuda dan gadis-gadis cantik, istri-istri yang sedang mengandung, suami-suami yang berlamur lumpur sawah berebut memilih bendera yang mereka sukai.
"Insya Allah, hidup ini berubah makmur," sebut salah seorang pemuda dan gadis yang bergandeng tangan di pojok bilik hampir berbarengan.

Waktu hidup hampir usai, pemuda dan gadis yang bergandeng tangan di pojok bilik beberapa waktu silam itu, masih juga tak mampu merubah nasib hidupnya. Hidup makmur dan negeri yang gemah ripah loh jinawi yang mereka hendaki tak kunjung datang. Sementara sang pemuda mesti cepat-cepat menikahi gadis yang kini hamil tua itu.

"Hidup ini terlalu kejam untuk kami berdua, ya Tuhan," do'a sang pemuda tadi ketika malam mengtahajudkan hatinya.

Dua ribu. Penanda millenium baru. Arak-arakan mahasiswa di jalanan kembali marak. Teriakannya pun hampir sama dengan teriakan mahasiswa dua tahun lalu. "Sang raja itu mesti turun. Dia pengkhianat reformasi," teriak eorang mahasiswa yang oleh kawan-kawannya didaulat sebagai komandan lapangan aksi massa yang cuma berjumlah puluhan orang. Tapi anehnya setiap harinya, mereka tak jenuh menyebar pamflet, poster dan ribuan selebaran lainnya. Aku yang menjadi penyaksinya menjadi terharu. Gigih betul mahasiswa-mahasiswa itu menghendaki perubahan negeri.

Sampai kemudian pada dua ribu satu, aku menemukan secari kertas bertulis: Kawan ini jalan yang saban hari kita lalui bersama, tak ada yang aneh dari kelaziman itu. Cuma ada yang berubah, jalan itu kini kulalui sendiri. Tulisan tangan itu mungkin milik seorang aktivis mahasiswa yang ditinggalkan kawan-kawan seperjuangannya. Sementara di jalanan arak-arakan mahasiswa kembali menggerbong. Maki-makian untuk sang penguasa baru kembali memecah langit negeri. Angin kembali membadai, merobek layar sampan nelayan. Ombak lau membadai memecah lambung kapal-kapal kecil yang saban waktu lewat di atasnya. Negeri ini kian riuh saja.

Pejompongan, Jakarta Selatan, akhir pekan, 7 April 2001

1 comments:

SEKJEN PENA 98

December 7, 2007 at 8:43 PM
Permalink this comment

1

said...

Disini ada cerita
Tentang kita yang mau berbagi cinta
Dengan sesama manusia
Disini ada cerita
Tantang kita yang menderita
Karena cinta pada manusia
Disini ada cerita
www.pena-98.com
www.adiannapitupulu.blogspot.com